Penyimpangan Etika dalam Bidang Perpajakan
,
Kapita Selekta
Disusun oleh :
1.
Hana Virginia 31430
2.
Ilham Pasbean 3143033
3.
Philia Atrianti 3143061
POLITEKNIK
POS INDONESIA
BANDUNG
2016
BAB I
PENDAHULUAN
Pajak merupakan salah satu sumber penerimaan negara terbesar. Dengan posisi yang sedemikian penting itu pajak merupakan penerimaan
strategis yang harus dikelola dengan baik oleh negara. Dalam struktur keuangan
Negara tugas dan fungsi penerimaan pajak dijalankan oleh Direktorat Jenderal Pajak
dibawah Departemen Keuangan Republik Indonesia.Dari tahun ke tahun telah banyak
dilakukan berbagai kebijakan untuk meningkatkan penerimaan pajak sebagai sumber
penerimaan Negara. Kebijakan tersebut dapat dilakukan melalui penyempurnaan
undang-undang, penerbitan peraturan perundang-undangan baru dibidang
perpajakan, guna meningkatkan kepatuhan wajib pajak maupun menggali
sumber hukum pajak lainnya Berbagai upaya yang dilakukan belum menunjukkan
perubahan yang signifikan bagi penerimaan Negara. Bahkan kondisi ini makin
diperparah pada tahun 1997 dengan terjadinya krisis ekonomi bahkan krisis multi
dimensi yang sampai sekarang ini belum terselesaikan di Indonesia.
Pada umumnya dinegara berkembang, penerimaan pajaknya yang terbesar berasal
dari pajak tidak langsung, Hal ini disebabkan Negara berkembang golongan
berpenghasilan tinggi lebih rendah persentasenya.namun dalam hal ini masih saja
banyak terjadi pengusaha yang menghindarkan diri dari pajak atau dalam arti
lainnya melakukan penyelewengan pajak dimana penghindaran diri dari pajak ini
bisa saja di sebut dengan pelanggaran undang undang dan resikonya dapat
merugikan negara selain itu juga masih banyak terjadi kasus penggelapan pajak
yang masih bisa lolos dari jerat hukum dan mengambang kasusnya dikarenakan
aparat penegak hukum kita tidak tegas dan sungguh-sungguh dalam menegakkan
keadilan malah berusaha menyiasati hukum dengan segala cara tidak lain tidak
bukan tujuannya adalah untuk melindungi tersangka mafia pajak. Dalam hal ini kami akan membahas mengenai
salah kasus penggelapan pajak yang dilakukan oleh PT Asian Agri
Group yang telah terungkap.
BAB II
PEMBAHASAN
Etika Bisnis dan Profesi Etika
Dalam Perpajakan
Pengertian Akuntansi Pajak
Akuntansi perpajakan dapat didefinisikan sebagai “Bidang Akuntansi
yang mengkalkulasi, menangani, mencatat, bahkan menganalisa dan membuat
strategi perpajakan sehubungan dengan kejadian-kejadian ekonomi (transaksi)
perusahaan”. Peranannya dalam perusahaan adalah signifikan, yaitu
- Memberikan membuat perencanaan
dan strategi perpajakan (dalam artian positif)
- Memberikan analisa dan
prediksi mengenai potensi pajak perusahaan di masa yang akan datang
- Dapat menerapkan perlakuan
akuntansi atas kejadian perpajakan (mulai dari penilaian/penghitungan,
pencatatan (pengakuan) atas pajak, dan dapat menyajikannya di dalam
laporan komersial maupun laporan fiskal perusahaan.
- Dapat melakukan pengarsipan dan
dokumentasi perpajakan dengan lebih baik, sebagai bahan untuk melakukan
pemeriksaan dan evaluasi.
Mengingat eratnya keterkaitan antara akuntansi dengan perpajakan
pajak (dan sebaliknya), implikasi dan konsekwensi setiap transaksi di
perusahaan terhadap pajak, tidak berlebihan jika manajemen dan staf akuntansi
pajak signifikan diperlukan didalam perusahaan. Sampai saat ini masih banyak
perusahaan merangkapkan pegawai accounting (yang menangani
laporan komersial) untuk menangani perpajakan juga. Akibat sedikitnya
pegawai accounting yang sungguh-sungguh memahami perpajakan
(bahkan untuk menghitungnya pun masih banyak yang belum bisa), tidak punya
cukup waktu untuk mengikuti perkembangan (perubahan) undang-undang dan
peraturan perpajakan, banyak kejadian perpajakan tidak ditangani dengan baik.
Terdapat dua kelompok pemakai laporan keuangan. Pihak internal dan
pihak eksternal. Pihak internal adalah manajemen perusahaan. Sementara pihak
eksternal antara lain pemegang saham, kreditor, dan instansi pemerintah seperti
instansi pajak. Sebagai pemakai ekstern, Ditjen Pajak bisa menggunakan laporan
keuangan sesuai kepentingannya, misalnya untuk menghitung pajak terhutang wajib
pajak (WP) yang bersangkutan. Laporan keuangan itu bisa yang telah diaudit
maupun tidak, tergantung kepada WP yang menyampaikannya.
Tanggung Jawab Akuntan Pajak
Internal Revenue Service (IRS) mengemukakan bahwa tanggung jawab
utama praktisi pajak adalah sistem pajak. Komisi IRS, Roscoe Egger dalam
Armstrong (1993 : 85) menyatakan bahwa suatu sistem pajak yang baik dan kuat
tidak hanya terdiri dari entitas administrasi pajak saja, dalam kasus ini IRS.
Hal tersebut juga harus terdiri dari Konggres, Administrasi dan komunitas
praktisi. Bukan sebagai bagian yang terpisah pada masyarakat yang luas, tetapi
lebih bekerja sama ke arah tujuan umum. Direktur praktik IRS, Leslie Shapiro
dalam Armstrong (1993 : 85) lebih menegaskan bahwa ketika secara umum
menyetujui bahwa praktisi pajak mempunyai kewajiban atas kemampuan, loyalitas
dan kerahasiaan klien, hal ini disebut juga tanggung jawab praktisi atas sistem
pajak yang baik. Tanggung jawab terakhir adalah pentingnya pervasive (peresapan).
Dalam hubungan antara praktisi dan klien yang normal, kedua tanggung jawab
dikenali dan dilaksanakan. Namun, situasi ini adalah sulit. Dalam beberapa
situasi praktisi diperlukan untuk memutuskan kewajiban yang berlaku dan dalam
pelaksanaannya dapat disimpulkan bahwa kewajiban atas sistem pajak yang
tertinggi. IRS bersandar pada praktisi pajak untuk membantu dalam mengatur
hukum pajak dengan jujur dan adil dalam pelayanan dan pengembangan kepercayaan
klien dalam integritas dan kepatuhan terhadap sistem pajak.
Menurut William L. Raby dalam Armstrong (1993 : 85) sistem pajak
yang mendukung IRS akan menimbulkan perdebatan pajak. Oleh karena itu,praktisi
lebih baik melayani publik dengan mengadopsi suatu sikap. Argumennya adalah
aturan etika yang fundamental dalam praktik perpajakan pada tingkat etika
personal adalah praktisi pajak harus mengijinkan klien untuk membuat keputusan
final. Praktisi tidak berhak mengganti skala nilai kliennya. Disamping itu
praktisi harus bertanggung jawab tidak menyediakan informasi yang salah untuk
pemerintah. Seorang auditor pajak bertanggung jawab mengaudit pajak penghasilan
dari wajib pajak untuk menentukan apakah mereka telah memenuhi undang-undang
perpajakan yang berlaku. Audit yang dilakukan oleh auditor pajak termasuk jenis
audit kepatuhan
Etika Akuntan Pajak
Dalam kaitannya dengan etika akuntan pajak, AICPA
mengeluarkan Statemet on Responsibilities in Tax Practice (SRTP).
Adapun isinya adalah sebagai berikut:
SRTP (Revisi 1988) No.1: Posisi Pengembalian Pajak
SRTP (Revisi 1988) No.2: Jawaban Pertanyaan atas
Pengembalian
SRTP (Revisi 1988) No.3: Aspek prosedur tertentu dalam
menyiapkan Pengembalian
SRTP (Revisi 1988) No.4: Penggunaan Estimasi
SRTP (Revisi 1988) No.5: Keberangkatan dari suatu
posisi yang sebelumnya disampaikan di dalam suatu kelanjutan administrative
atau keputusan pengadilan
SRTP (Revisi 1988) No.6: Pengetahuan Kesalahan:
Persiapan Kembalian
SRTP (Revisi 1988) No.7: Pengetahuan Kesalahan: Cara
kerja administrasi
SRTP (Revisi 1988) No.8: Format dan isi nasihat pada
klien
Salah satu klien yang terpenting menyarankan untuk merubah
perlakuan dari beberapa pajak penghasilannya. Kita percaya jika perlakuan yang
disarankan oleh klien tersebut dibuat untuk memperkecilkan pajak yang
sebenarnya. Walaupun itu tidak ada alasan yang tepat untuk merubahnya. Kita
hanya mempuyai dua pilihan dasar yaitu :
- Kita dapat menolak untuk
perubahan tersebut
- Kita dapat melakukan untuk
perubahan tersebut sesuai yang disarankan oleh klien.
AICPS’s Statement On Responsibilities in Tax Practice meyetujui
akuntan merangkap peran sebagai penasehat hukum untuk klien dan pembawa
kebenaran untuk pemerintahan. Dari perspektif etika, peran rangkap ini
sangatlah penting karena peran rangkap akuntansi perpajakan lebih mempunyai
tanggung jawab dua kali lipat daripada peran auditor yang kita ketahui selama
ini. Akuntansi perpajakan mempunyai beberapa tanggung jawab masyarakat melalui
pemerintah.
Pertama, akuntansi perpajakan mempunyai larangan untuk berbohong
dalam pajak penghasilan. Kedua, sebagai seorang attestor tanda tangan di atas
pajak penghasilan adalah sebuah hukuman dari sumpah palsu. Oleh karena itu ada
suatu tanggung jawab kepada klien dan masyarakat untuk jujur dan tidak menjadi
kompleks ketika seorang klien mencoba untuk menipu meskipun hal ini bisa
merusak hubungan kita dengan klien.
Para anggota harus memenuhi tanggung jawab mereka sebagai seorang
profesioanal dengan menjaga dan mengamalkan standarisasi tersebut sehingga
tingkat keprofesionalan mereka dapat diukur. Ada 6 standarisasi yang
dipersembahkan oleh SSTs, yang menjadi tujuan kita ;
- Seorang akuntansi pajak
seharusnya tiadak merekomendasikan suatu keadaan atau posisi jika posisi
tersebut tidak pantas
- Seorang akuntan pajak
seharusnya tidak mempersiapkan atau menandai penghasilan jika hal ini
merupakan suatu keadaan dimana seorang tidak bisa merekomendasikan no.1
- Seorang akuntan pajak bisa
merekomendasikan yang mana dia dapat menyimpulkan suatu keadaan tersebut
dengan tidak tergesa-gesa
- Seorang akuntan pajak mempunyai
kewajiban untuk memberikan nasehat kepada kliennya tentang hukuman yang
dapat di berikan karena beberapa keadaan dan sekaligus pemecahan
masalahnya.
- Seorang akuntan pajak
seharusnya tidak merekomendasikan suatu keadaan dimana dapat bertindak
secara tidak adil terhadap audit pemilihan proses oleh IRS
- Melayani keadaan dimana orang
hanya beragumen saja tanpa adanya praktek.
Jadi, hukum pajak dan permintaan dari klien adalah kesempatan
potensi yang besar untuk perilaku yang beretika dalam akuntansi pajak. Crenshaw
dalam artikelnya menyebutkan empat alasan mengapa dibutuhkan tempat
perlindungan pajak:
- manajemen perusahaan mencari
cara baru untuk memaksimalkan laba dan aliran arus kas
- meningkatkan kompleksitas baik
dari kode pajak dan keuangan, membuat hal itu lebih mudah dalam realita
ekonomi
- persepsi tentang investasi bank
dan mewujudkan keinginan produk pajak
- risiko yang kecil
Pernyataan Umum No. 1 Kemungkinan yang realistis umum: “Secara
umum, suatu anggota perlu mempunyai suatu niat baik dalam kepercayaan bahwa
posisi keuntungan pajak direkomendasikan untuk mempunyai suatu kemungkinan yang
realistis secara administratif atau secara hukum didukung atas baik buruknya
suatu tantangan.
Pernyataan Umum No. 2 Statemen ini adalah tidak diragukan dalam
menentukan yang berikut: “Suatu anggota perlu membuat suatu usaha yang layak
untuk memperoleh informasi yang diperlukan dari seseorang wajib pajak untuk
menyediakan jawaban yang sesuai untuk semua pertanyaan pada suatu keuntungan
pajak sebelum mempersiapkan penandatanganan.
Pernyataan Umum No. 3 Kewajiban untuk menguji atau memverifikasi
data pendukung: Suatu persiapan dalam mempercayai niat baik dari klien untuk
menyediakan informasi yang akurat dalam menyiapkan suatu keuntungan pajak,
tetapi “mestinya tidak mengabaikan implikasi dari informasi yang diperlengkapi
dan perlu membuat pemeriksaan yang layak jika informasi tampak seperti salah,
atau tidak sempurna” ( SSTS, p. 21).
Pernyataan Umum No. 4 Penggunaan estimasi: Ini adalah standar yang
tidak diragukan. Suatu persiapan dapat menggunakan perkiraan wajib pajak jika
tidak praktis untuk memperoleh data yang tepat dan jika persiapan dalam
menentukan perkiraan adalah layak, didasarkan pada pengetahuan sebelum
persiapan.
Pernyataan Umum No. 5 Sesuai dengan pernyataan sebelumnya : ini
adalah suatu standar yang teknis. Seperti dipaparkan dalam bentuk SSTS No. 1,
mengenai posisi keuntungan pajak, dimana anggota boleh merekomendasikan suatu
posisi keuntungan pajak atau menyiapkan suatu tanda keuntungan pajak yang
meninggalkan perbaikan dari suatu item seperti disimpulkan dalam suatu
kelanjutan yang administratif atau keputusan pengadilan berkenaan dengan suatu
hasil yang utama dari wajib pajak” ( SSTS, p. 26).
Pernyataan Umum No. 6 Kesalahan Pengetahuan: Apa yang terpaksa
dilaksanakan ketika suatu persiapan sadar akan suatu kesalahan sebelumnya ?
Anggota perlu “menginformasikan wajib pajak dengan segera” dan ”
merekomendasikan yang mengoreksi tindakan yang diambil” ( SSTS, p. 28).
Pernyataan Umum No. 7 Kesalahan Pengetahuan: kelanjutan yang administratif:
Jika selama suatu kelanjutan yang administratif suatu persiapan mendeteksi
suatu kesalahan, maka perlu “meminta persetujuan wajib pajak untuk
menyingkapkan kesalahan untuk dikenakan pajak otoritas. Kekurangan persetujuan
seperti anggota perlu mempertimbangkan dalam hal apakah perlu menarik dari
perwakilan wajib pajak di kelanjutan yang administratif” ( SSTS, pp. 31-2).
Pernyataan Umum No. 8 Format dan isi dari nasihat ke wajib pajak:
Statemen ini tidak menentukan isi manapun atau format yang umum dari nasihat
dikarenakan cakupan dari nasihat menjadi sangat luas dan dikhususkan untuk
masing-masing individu yang menjadi wajib pajak secara terpaksa. Yang menjadi
rekomendasi mereka adalah bahwa nasihat mencerminkan kemampuan/ wewenang
profesional dan melayani wajib pajak terpaksa.
Kompleksitas Aturan Perpajakan vs Tuntutan Klien
Pajak secara klasik memiliki dua fungsi.
Fungsi Pajak terdiri dari dari dua fungsi yaitu:
a. Fungsi Budgetair
Fungsi Budgetair disebut fungsi utama atau fungsi
fiscal yaitu suatu fungsi dalam mana pajak dipergunakan sebagai alat untuk
memasukan dana secara optimal ke kas Negara berdasarkan undang – undang
perpajakan yang berlaku.
b. Fungsi Regulerend
Fungsi Regulerend disebut juga fungsi tambahan
karena hanya sebagai pelengkap dari fungsi utama yaitu budgetair. Dalam hal
ini, pajak berfungsi sebagai alat yang digunakan pemerintah untuk mencapai
tujuan tertentu. Contoh : pemerintah ingin memberantas/mengurangi kebiasaan
mabuk-mabukan dikalangan generasi muda maka pemerintah mengenakan pajak atas
minuman keras dengan demikian harga menjadi mahal dan diharapkan konsumsi
minuman keras menjadi berkurang
Berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 pasal 23 ayat 2, disebutkan
bahwa “segala pajak untuk keperluan negara berdasarkan undang-undang.” Dari hal
tersebut dapat disimpulkan bahwa pajak memiliki fungsi yang luas antara lain
sebagai sumber pendapatan negara yang utama, pengatur kegiatan
ekonomi,pemerataan pendapatan masyarakat, dan sebagai sarana stabilisasi
ekonomi. Kalau kita lihat APBN, pajak selalu dituntut untuk bertambah dan
bertambah. Pemerintah harus memasukkan uang sebanyak-banyaknya ke kas negara.
Dalam struktur anggaran negara, seperti halnya negara kita bisa mencapai 75%
diperoleh dari pajak. Kondisi inilah yang memicu pemerintah untuk membuat
aturan-aturan perpajakan. Aturan perpajakan merupakan masalah yang sebaiknya
menjadi prioritas bagi pemerintah supaya tidak terjadi tax evasion/tax
avoidance.
Berikut ini disajikan kasus yang mencerminkan kompleksitas aturan
perpajakan vs tuntutan klien:
- Jeratan Pajak Ganda pada
Dividen
Secara teori Indonesia menganut klasikal sistem. Artinya, ada
pembedaan subyek pajak. Yaitu subyek pajak badan dan subjek pajak perseorangan.
Yang bermasalah dalam pajak deviden adalah terjadi economic double taxation.
Pengertiannya, sebelum dividen dibagi kepada pengusaha, dia merupakan laba
perusahaan yang dikenakan pajak, atau disebut pajak korporat. Namun, ketika
dibagi lagi kepada pemegang saham di korporat, pemegang saham itu harus
dikenakan pajak lagi. Inilah yang disebut sebagai pajak ganda. Sebagai
perbandingan, Malaysia dan Singapura tidak lagi menggunakan pajak atas dividen.
Mereka menggunakan kredit sistem. Yakni, pajak yang bisa dikreditkan kepada
para pemegang saham di korporat. Sehingga, korporat hanya dimaknai sebagai
sarana. Subyek pajak tetap melekat pada pribadi. Tak ada lagi pajak ganda yang
membebani.
2. Sengketa Pajak
Kalau terjadi dispute, yakni hitungan wajib pajak (WP) dengan
petugas pajak berbeda. Pada UU KUP 2000 kewenangan aparat Fiscus terlalu luas.
Jika terjadi sengketa SPT, maka apapun yang akan dipakai adalah hitungan aparat
pajak, dan hitungan itu harus dibayar lebih dahulu oleh WP sebesar 50 persen
dari hitungan petugas pajak sebelum bisa dibawa kepada pengadilan pajak. Kalau
hitungan WP yang dinyatakan pengadilan benar maka WP berhak menerima restitusi.
Malangnya, uang restitusi itu kenyataannya tidak segera dibayarkan oleh Fiscus.
Jika uang restitusi jumlahnya milyaran jelas saja mengganggu cash flow para
pengusaha. Inilah persoalan yang menjadi momok dalam dispute antara WP dengan
aparat pajak. Untungnya, dalam UU KUP 28/2007 perhitungan SPT ditentukan secara
bersama-sama. Jika ada perbedaan klaim angka, maka yang lebih dahulu dipakai
adalah klaim WP. Sebelum masuk ke pengadilan pajak, WP hanya cukup membayar
sebesar 50 persen dari klaim hitungan WP sendiri.
3. Tarif Pajak yang tinggi
Ketua Tax Centre UI, Tafsir Nurchamid dan pengusaha Anton J Supit
mengatakan bahwa tarif yang tinggi kalau diturunkan punya dampak pada seretnya
penerimaan negara. Padahal disaat yang sama pendapatan negara itu sebagian
besar ditujukan untuk membayar hutang dan obligasi rekap. Meskipun semestinya
menurut Anton J Supit penerimaan dari pajak itu digunakan untuk membangun
infrastruktur. Banyak kalangan perpajakan seperti Permana Agung, Gunadi, dan
Haula Rusdiana mengatakan sebaiknya ada kebijakan untuk membuat tarif menjadi
lebih rendah. Selain lebih kompetitif bagi dunia usaha, pajak yang rendah
dianggap justru akan meningkatkan penerimaan negara karena semakin banyaknya
potensi pajak yang terjaring. Satu triliun dari seratus orang jauh lebih baik
ketimbang satu triliun hanya dari sepuluh pembayar pajak. Tarif yang tinggi
membuat yang bayar menjadi sedikit. Sehingga membuat banyak orang yang lain
lebih sering menghindar dan kucing-kucingan dengan petugas pajak. Dalam pikiran
mereka, sekali Anda punya NPWP sampai mati Anda akan dikejar oleh aparat pajak.
Prinsip ini membuat mereka kalau bisa selalu baku atur atau main belakang
dengan fiscus.
Contoh Kasus Etika Perpajakan
PT Asian Agri Group (AAG) adalah salah satu induk usaha terbesar kedua di
Grup Raja Garuda Mas, perusahaan milik Sukanto Tanoto. Menurut majalah Forbes,
pada tahun 2006 Tanoto adalah keluarga paling kaya di Indonesia, dengan kekayaan
mencapai US$ 2,8 miliar (sekitar Rp 25,5 triliun). Selain PT AAG,
terdapat perusahaan lain yang berada di bawah naungan Grup Raja Garuda Mas, di
antaranya: Asia Pacific Resources International Holdings Limited (APRIL),
Indorayon, PEC-Tech, Sateri International, dan Pacific Oil &
Gas.Secara khusus, PT AAG memiliki 200 ribu hektar lahan sawit, karet,
kakao di Indonesia, Filipina, Malaysia, dan Thailand. Di Asia, PT AAG merupakan
salah satu penghasil minyak sawit mentah terbesar, yaitu memiliki 19 pabrik
yang menghasilkan 1 juta ton minyak sawit mentah – selain tiga pabrik minyak
goreng.
Terungkapnya dugaan penggelapan pajak oleh PT AAG, bermula dari aksi
Vincentius Amin Sutanto (Vincent) membobol brankas PT AAG di Bank Fortis
Singapura senilai US$ 3,1 juta pada tanggal 13 November 2006. Vincent saat itu
menjabat sebagai group financial controller di PT AAG – yang
mengetahui seluk-beluk keuangannya. Perbuatan Vincent ini terendus oleh
perusahaan dan dilaporkan ke Polda Metro Jaya. Vincent diburu bahkan diancam
akan dibunuh. Vincent kabur ke Singapura sambil membawa sejumlah dokumen
penting perusahaan tersebut. Dalam pelariannya inilah terjadi jalinan
komunikasi antara Vincent dan wartawan Tempo.
Pelarian VAS berakhir setelah pada tanggal 11 Desember 2006 ia menyerahkan
diri ke Polda Metro Jawa. Namun, sebelum itu, pada tanggal 1 Desember 2006 VAS
sengaja datang ke KPK untuk membeberkan permasalahan keuangan PT AAG yang
dilengkapi dengan sejumlah dokumen keuangan dan data digital.Salah satu dokumen
tersebut adalah dokumen yang berjudul “AAA-Cross Border Tax Planning (Under
Pricing of Export Sales)”, disusun pada sekitar 2002. Dokumen ini memuat
semua persiapan transfer pricing PT AAG secara terperinci.
Modusnya dilakukan dengan cara menjual produk minyak sawit mentah (Crude
Palm Oil) keluaran PT AAG ke perusahaan afiliasi di luar negeri dengan
harga di bawah harga pasar – untuk kemudian dijual kembali ke pembeli riil
dengan harga tinggi. Dengan begitu, beban pajak di dalam negeri bisa ditekan.
Selain itu, rupanya perusahaan-perusahaan luar negeri yang menjadi rekanan PT
AA sebagian adalah perusahaan fiktif.
Pembeberan Vincent ini kemudian ditindaklanjuti oleh KPK dengan menyerahkan
permasalahan tersebut ke Direktorat Pajak – karena memang permasalahan PT AAG
tersebut terkait erat dengan perpajakan.Menindaklanjuti hal tersebut, Direktur
Jendral Pajak, Darmin Nasution, kemudian membentuk tim khusus yang terdiri atas
pemeriksa, penyidik dan intelijen. Tim ini bekerja sama dengan Pusat Pelaporan
dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dan Kejaksaan Agung. Tim khusus
tersebut melakukan serangkaian penyelidikan – termasuk penggeladahan terhadap
kantor PT AAG, baik yang di Jakarta maupun di Medan.
Berdasarkan hasil penyelidikan tersebut (14 perusahaan diperiksa),
ditemukanTerjadinya penggelapan pajak yang berupa penggelapan pajak penghasilan
(PPh) dan pajak pertambahan nilai (PPN).selain itu juga "bahwa dalam tahun pajak 2002-2005,
terdapat Rp 2,62 triliun penyimpangan pencatatan transaksi. Yang berupa
menggelembungkan biaya perusahaan hingga Rp 1,5 triliun. mendongkrak kerugian
transaksi ekspor Rp 232 miliar. mengecilkan hasil penjualan Rp 889 miliar.
Lewat modus ini, Asian Agri diduga telah menggelapkan pajak penghasilan untuk
badan usaha senilai total Rp 2,6 triliun. Perhitungan SPT Asian Agri yang
digelapkan berasal dari SPT periode 2002-2005. Hitungan terakhir menyebutkan
penggelapan pajak itu diduga berpotensi merugikan keuangan negara hingga Rp 1,3
triliun.
Dari rangkaian
investigasi dan penyelidikan, pada bulan Desember 2007 telah ditetapkan 8 orang
tersangka, yang masing-masing berinisial ST, WT, LA, TBK, AN, EL, LBH, dan SL.
Kedelapan orang tersangka tersebut merupakan pengurus, direktur dan penanggung
jawab perusahaan. Di samping itu, pihak Depertemen Hukum dan HAM juga telah
mencekal 8 orang tersangka tersebut.
Terungkapnya kasus penggelapan pajak oleh PT AAG tidak terlepas dari
pemberitaan investigatif Tempo – baik koran maupun majalah –
dan pengungkapan dari Vincent. Dalam konteks pengungkapan suatu perkara,
apalagi perkara tersebut tergolong perkara kakap, mustinya dua pihak ini
mendapat perlindungan sebagai whistle blower. Kenyataannya, dua
pihak ini di-blaming. Alih-alih memberikan perlindungan, aparat
penegak hukum malah mencoba mempidanakan tindakan para whistle blower ini.
Vincent didakwa dengan pasal-pasal tentang pencucian uang – karena memang dia,
bersama rekannya, sempat mencoba mencairkan uang PT AAG. Bahkan Vincent telah
divonis dan dihukum 11 tahun penjara. Sementara itu, pesan pendek (SMS) Metta
Dharmasaputra – wartawan Tempo – disadap aparat penegak
hukum, print-out-nya beredar di kalangan pers. Pemberitaan
investigatif Metta Dharmasaputra dan komunikasinya dengan Vincent sempat
menjadi urusan Dewan Pers, bahkan nyaris diproses secara pidana.Selain itu,
pemberitaan Tempo juga di-blaming melalui riset di
bidang komunikasi publik oleh dosen Fisipol UGM atas pesanan PT AAG – yang
menyatakan bahwa pemberitaan-pemberitaan seputar kasus penggelapan pajak
tersebut tidak mencari solusi yang komprehensif. Sedangkan P3-ISIP UI – yang
melakukan riset serupa atas pesanan PT AAG – menyimpulkan bahwa pers
(pemberitaan Tempo) cenderung melakukan bias dan keberpihakan yang
secara etis patut direnungi. Bisa jadi hasil-hasil riset tersebut sebagai
legitimasi untuk memperkarakan Tempo.Apa yang dialami Vincent
dan Tempo tersebut sebenarnya merupakan cermin buram bagi
perlindungan saksi di Indonesia selama ini. Kejadian ini bukanlah yang pertama
dialami para pengungkap fakta. Tetapi kejadian berulang yang tujuannya tidak
lain adalah untuk menutupi kejahatan yang sesungguhnya. Para pengungkap fakta
semacam ini sering mengalami berbagai bentuk kekerasan – intimidasi dan teror,
bahkan diperkarakan secara hukum – baik perdata maupun pidana. Lihat saja
misalnya Kasus Udin, kasus Endin Wahyudi, Kasus Ny Maria Leonita, Kasus Romo
Frans Amanue, dan banyak lagi.Jangan sampai apa yang dialami Vincent dan Tempo tersebut
menjadi alat untuk membungkam pengungkapan kasus yang sesungguhnya, dalam hal
ini dugaan penggelapan pajak oleh PT AAG.
Penyelesaian Kasus Asian Agri: Di Dalam
atau Luar Pegadilan?
PT Asian Agri Group (AAG) diduga telah melakukan
penggelapan pajak (tax evasion) selama beberapa tahun terakhir sehingga menimbulkan kerugian negara senilai trilyunan rupiah. Belum
lagi kelar penyidikan, berkembang wacana mengenaipenyelesaian kasus itu di luar pengadilan (out of court settlement). Hal ini sangat
menggelisahkan kalangan yang menginginkan tegaknya hukum dan terwujudnya
keadilan, tanpa pandang bulu. Sangat ironis jika para penjahat kelas teri
ditangkapi, ditembaki, disidangkan, dan dimasukkan bui, sementara itu penjahat
kerah putih (white collar criminal) yang mengakibatkan kerugian besar
pada negara justru dibiarkan melenggang karena kekuatan kapital nya.
Celah Keluar dari Pengadilan
Meski peraturan perundangan mengancam pelaku tindak pidana perpajakan
dengan sanksi pidana penjara dan denda yang cukup berat, nyatanya masih ada
celah hukum untuk meloloskan para penggelap pajak dari ketok palu hakim di
pengadilan. Pasal 44B UU No.28/2007 membuka peluang out of court
settlement bagi tindak pidana di bidang perpajakan. Ketentuan itu
mengatur bahwa atas permintaan Menteri Keuangan, Jaksa Agung dapat menghentikan
penyidikan. Dengan demikian, kasus berakhir (case closed) jika wajib pajak
yang telah melakukan kejahatan itu telah melunasi beban pajak beserta sanksi
administratif berupa denda. Ketentuan hukum nyatanya begitu lunak dalam
mengatur tindak pidana perpajakan. Peluang out of court
settlement dimungkinkan bagi segala jenis tindak pidana perpajakan.
Peluang itu tidak hanya berlaku untuk “Perlawanan Pasif terhadap Pajak”,
yaitu perlawanan yang
tidak dilakukan secara sadar atau disertai niat dari warga masyarakat untuk
merintangi aparat pajak dalam melakukan tugasnya. Penghentian penyidikan dan
penyelesaian di luar sidang juga berlaku untuk “Perlawanan Aktif terhadap
Pajak” yang perbuatannya dilakukan lewat cara-cara ilegal dan langsung
ditujukan pada fiskus/pemerintah.
Jadi,
penyelesaian kasus tindak pidana perpajakan oleh Asian Agri Group meski masuk
kategori “Perlawanan Aktif terhadap Pajak” sekalipun – tetap dapat diselesaikan
di luar sidang pengadilan. Dengan demikian, harapan kita bergantung pada
Menteri Keuangan dan Jaksa Agung sebagai pihak yang paling menentukan dalam
proses penyelesaian tindak pidana perpajakan ini.
Tidak
Hanya Urusan Pajak
Menilik modus operandi dalam kasus ini, penggelapan pajak bukanlah
satu-satunya perbuatan pidana yang bisa didakwakan kepada Asian Agri Group.
Penyidikan terhadap Asian Agri Group juga dapat dikembangkan pada tindak pidana
pencucian uang (money laundering). Dalam hal itu, penggelapan pajak oleh Asian Agri Group
perlu dilihat sebagai kejahatan asal (predict crime) dari tindak pidana
pencucian uang. Sebagaimana lazimnya, kejahatan pencucian uang tidak berdiri
sendiri dan terkait dengan kejahatan lain. Kegiatan pencucian uang adalah cara
untuk menghapuskan bukti dan menyamarkan
asal-usul keberadaan uang dari
kejahatan yang sebelumnya. Dalam kasus ini, penggelapan pajak dapat menjadi salah
satu mata rantai dari kejahatan pencucian uang.
Asian Agri Group mengecilkan laba perusahaan dalam negeri agar terhindar
dari beban pajak yang semestinya dengan cara mengalirkan labanya ke luar negeri(Mauritius, Hongkong Macao, dan British Virgin Island). Surat Pemberitahuan
Tahunan (SPT) kelompok usaha Asian Agri Group kepada Ditjen Pajak telah
direkayasa sehingga kondisinya seolah merugi (Lihat pernyataan Darmin Nasution,
Direktur Jenderal Pajak, mengenai rekayasa SPT itu). Modus semacam itu memang
biasa dilakukan dalam kejahatan pencucian uang, sebagaimana juga diungkapkan
oleh Ketua Pusat Pelaporan dan Analisis
Transaksi Keuangan (PPATK), Yunus Hussein mengenai profile,
karakteristik, dan pola transaksi keuangan yang tidak beres sebagai indikasi
kuat adanya money laundering (Metro TV, 8/1/2008).
Kuatnya
dugaan tindak pidana pencucian uang oleh Asian Agri Group semakin didukung
fakta-fakta yang diperoleh lewat penelusuran Tempo. Investigasi
wartawan Tempo memperlihatkan adanya transaksi mencurigakan
melalui perbankan untuk mengalirkan uang hasil penggelapan pajak Asian Agri
Group ke afiliasinya di luar negeri yang ternyata adalah perusahaan fiktif.
Salah satu perusahaan fiktif itu adalah Twin Bonus Edible Oil and Fat, yang
setelah dilakukan pengecekan rupanya menggunakan alamat pabrik payung yang berkedudukan hukum di Hongkong (Tempo,
4/2/2007).Catatan/profile transaksi
keuangan yang tidak beres dan adanya transaksi dengan perusahaan fiktif
merupakan bukti permulaan yang bisa digunakan untuk membuat terang dugaan
tindak pidana pencucian uang. Penyidikan selanjutnya bisa dilakukan dengan
menyelusuri tiga tahapan dalam kejahatan pencucian uang. Pertama,
penempatan (placement) yang dimulai
dengan menyelundupakan penghasilan yang diduga dari laba perusahaan ke negara
lain. Kedua, pelapisan (layering) yaitu
proses pemindahan dana dari beberapa rekening atau lokasi tertentu sebagai
hasil upaya placement ke tempat lainnya melalui serangkaian
transaksi yang kompleks didesain untuk menyamarkan atau mengelabui sumber uang
haram terebut (mengenai tahap layering, lihat: Yunus Hussein,
2007). Ketiga, integrasi (integration) yang
merupakan tahap akhir dari proses money laundering yang
bertujuan menjadikan uang hasil tindak pidana itu dapat digunakan/dinikmati
selayaknya uang halal.
Berujung di Pengadilan
Berbeda dengan tindak pidana perpajakan, dalam proses penyelesaian tindak
pidana pencucian uang tidak ada satu pihak pun yang diberi kewenangan untuk
menghentikan penyidikan. Dengan demikian, jika PPATK dan penyidik dapat
melakukan koordinasi dengan baik untuk menuntaskan penyidikan tindak pidana
pencucian uang itu, maka persidangan kasus ini pun dapat segera digelar.
Akhirnya, lemahnya ketentuan hukum mengenai perpajakan harus menjadi catatan
lembaga legislatif. Ketentuan yang memberikan kewenangan untuk menghentikan
penyidikan tindak pidana perpajakan hanya akan menimbulkan ketidakpastian hukum
dan jelas tidak mampu menghadirkan keadilan. Persetujuan kita bersama terhadap
filosofi pajak yang tidak bertujuan membangkrutkan usaha, semestinya juga tidak
diinterpretasikan lewat kebijakan yang membeda-beda kan kedudukan warga negara
di hadapan hukum.
BAB III
KESIMPULAN
kasus Asian Agri adalah cermin sempurna bagi penegak hukum kita.Dari situ
tergambar, sebagian dari mereka tidak sungguh-sungguh menegakkan keadilan,
malah berusaha menyiasati hukum dengan segala cara. Tujuannya boleh jadi buat
melindungi orang kaya yang diduga melakukan kejahatan. Dan kalau perlu
dilakukan dengan cara mengorbankan orang yang lemah.Persepsi itu muncul setelah
petugas Kepolisian Daerah Metro Jaya bersentuhan dengan kasus dugaan
penggelapan pajak Asian Agri, salah satu perusahaan milik taipan superkaya,
Sukanto Tanoto. Kejahatan ini diperkirakan merugikan negara Rp 786 miliar.
Polisi amat bersemangat mengusut Vincentius Amin Sutanto, bekas pengontrol
keuangan perusahaan itu, hingga akhirnya dihukum 11 tahun penjara pada Agustus
lalu. Padahal justru dialah yang membongkar dugaan penggelapan pajak dan money
laundering oleh Asian Agri. Pemerintah mestinya berterima kasih kepada mereka.
Dugaan penggelapan pajak itu bukannya mengada-ada. Direktorat Jenderal Pajak telah
menetapkan hina anggota direksi Asian Agri sebagai tersangka kasus pidana
pajak. Jika kasus ini segera ditangani dengan tuntas, amat besar uang negara
yang bisa diselamatkan.Upaya ini juga akan mencegah pengusaha lain melakukan
penyelewengan serupa, sehingga tujuan pemerintah mendongkrak penerimaan pajak
tercapai.Tidak sewajarnya polisi mengkhianati program pemerintah. Mereka
seharusnya segera mengusut pula dugaan pencucian uang yang dilakukan Asian
Agri. Perusahaan ini diduga menyembunyikan hasil "penghematan" pajak
ke berbagai bank di luar negeri. Inilah yang mestinya diprioritaskan dibanding
membidik orang yang justru membantu membongkar dugaan penggelapan pajak. Dari kasus ini juga terjadi pelanggaran terhadap
profesi akuntan dalam bidang perpajakan.
terimakasih kak sangat membantu,kebetulan saya juga di poltekpos :D
BalasHapus